Jumat, 22 Oktober 2010

ILMU KALAM

MU’TAZILAH

A. Asal-Usul Mu’tazilah
Secara harfiah Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, atau menjauhkan diri.[1] Golongan ini muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi baru menghebohkan pemikiran keislaman pada masa pemerintahan Bani Abbas dalam masa yang cukup panjang. Seorang ulama terkenal bernama Imam Hasan al-Basri (w.110 H) menyelenggarakan majelis pengajaran di masjid kota Basrah.
Istilah mu’tazilah memunculkan dua golongan:
       1.         Menurut sebagian respon politik murni, kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti ada pada kaum mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.2
       2.         Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan murji’ah akibat adanya peistiwa tahkim. Beberapa versi tentag pemberian nama mu’tazilah kepada kedua golongan ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Atha’ serta temannya Amr bin Ubaid, dan Hasan al-Basri di Basrah.3
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal usul kemunculan mu’tazilah tanpa menyangkut pautkannya dengan peristiwa antara washil bin atha’ dan Hasan al-Basri karena menjelaskan bahwa sorang Islam yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian orang itu melakukan dosa besar lalu orang tersebut meninggal sebelum bertaubat. Menurut Imam Hasan al-Basri, orang itu tetap muslim, hanya saja muslim yang durhaka, di akhirat kelak dimasukkan ke dalam neraka untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya sampai batas tertentu sesudah menjalani hukuman, dia dikeluarkan dari neraka, kemudian dimasukkan ke dalam surga. Washil bin Atho’ salah satu muridnya menyatakan berbeda pendapat/pendirian dengan gurunya, lalu ia keluar dari majelis gurunya.
Washil bin Atho’ mendirikan majelis sendiri di suatu sudut masjid Basrah dan diberi nama kaum Mu’tazilah, karena ia memisahkan/mengasingkan diri dari majelis gurunya, serta diikuti teman-temannya, Amr bin Ubaid dan Hasan al-Basri. Sebagian orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka berdiri dari orang-orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya dan menolak hidup bersenang-senang. Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang yang menyandang predikat adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia.
Di antara Mu’tazilah Yahudi dan Mu’tazilah Islam terdapat persamaan besar, yaitu yang pertama menafsirkan Taurat sesuai dengan logika filsafat, sedangkan keduanya mena’wilkan semua sifat-sifat Tuhan yang disebutkan dalam al-Qur'an.
B. Lima Ajaran Mu’tazilah
Dalam ajaran Mu’tazilah ada lima dasar teologi (al-Ushl al-Khamsah), yaitu:
       1.         At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, tauhid memmiliki arti spesifik, tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dpat mengurangi arti kemah esaannya. Oleh karena itulah dialah yang qadim. Bial ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama’ (berbilangnya dzat yang tak bermulaan).[2]
       2.         Al-Adlu yang berarti tuhan maha adil.
Ajaran ini bertujuan untuk menempatkan tuhan benar-benar adal menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini diciptakan untuk kepentingan manusia. begitu pula tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.
Ajaran keadilan ini berkaian erat dengan beberapa hal antara lain yaitu:
a.       Perbuatan manusia menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekauasaan tuhan baik secara langsung atau tidak
b.      Perbuatan baik dan terbaik adalah kewajiban tuhan berbuata bai k bahklan ternbaik bagi manusia
c.       Mengutus Rasul adalah mengutus rasul pada manusia itu adalah  kewajiban tuhan.
       3.         Al-Wa’du wa al-Wa’id (janji dan ancaman)
Ajaran ketiga ini sangat erat hubunganya dengan ajran kedua diatas. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menunaikan janjinya, yaitu menmberi pahala orang yang taat dan memberi siksa pada orang yang jahat, kecuali bila ia tobat nasuha.
       4.         Al-Manzila Bain al-Mazilatain (tempat di antara dua tempat)
Inilah ajaran-ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah. Pkok-pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar danh  belumm taubat bukan lagi muimin atau kafir, tetapi fasik. Kedudukan orang bukan mukmin tapi bukan pula kafir secara mutlak karena ia mengucapkan syahadat, akan tetapi orang tersebut disebut fasiq karena menmpati antara mukmin dan kafir. Dari sini Mu’tazilah menyimpulkan bahwa maksiat itu ada dua macam, yaitu merusak dasa agama seperti syirik dan orang yang berbuat maksiat seperti golongan kafir.
       5.         Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan soal amaliah atau fikih. Dalam sejarah Mu’tazilah yang mempertahankan Islam, memberantas kesesatan yang tersebar luas pada permulaan Khalifah Bani Abbasiyyah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam berma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh tokoh Abdul al-Jabbar, yaitu:[3]
i.         Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
ii.       Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
iii.      Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
iv.     Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakan tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
Kemunduran Mu’tazilah disebabkan oleh penganut sendiri dan kelihatan nyata pada zaman Khalifah al-Mutawakkil, banyak kitab-kitab yang berisi ajaran Mu’tazilah dibakar, namun masih terdapat pribadi-pribadi setia menyebarkan paham Mu’tazilah. Pada abad ke-3 Hijriah muncullah al-Hayyat yang dianggap sumber asli untuk mengetahui ajaran Mu’tazilah.[4]


II.     ASY’ARIAH

Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari.[5] Menurut beberapa riwayat al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M.
Al-Asy’ari pengikut faham Mu’tazilah dan Ia belajar Ilmu Kalam pada Abu Ali al-Juba’i. Karena kemahirannya, ia selalu mewakili gurunya dalam berdiskusi. Pada perkembangan selanjutnya al-Asy’ari menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah dan condong kepada pikiran fuqoha dan ahli hadits. Ketika umur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari Jum’at ia naik mimbar di masjid Bashrah secara resmi menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah.
Sebab al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah adalah adanya perpecahan yang yang terjadi pada kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri. Kalau seandainya tidak segera diakhiri, ia khawatir kalau al-Qur'an dan Hadits menjadi korban dari faham-faham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat. Ada ahli hadits antropomorfis yang terlalu memegangi makna lahir dari hadits yang nyaris menyeret Islam pada kelemahan, kebekuan yang tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu al-Asy’ari jalan tengah antara golongan rasionalis (Mu’tazilah) dan golongan tekstualis (ahli hadits antropomorfis) dan dengan langkah jalan tengah mayoritas umat Islam bisa menerimanya.
Pada pemikiran al-Asy’ari secara esensial, menampakkan sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim, diantara pemikiran al-Asy’ari yang terpenting, yaitu:
1.      Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim, salah satunya dengan kelompok Majassimah (antropomorfis) dengan kelompok Musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebut dalam al-Qur'an dan Sunnah, karena sifat itu harus difahami secara harfiah. Al-Asy’ari berpandangan, bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu seperti kita mempunyai tangan dan kaki, hal ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Dan sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibedakan dengan sifat-sifat manusia meski itu agak sama, karena sifat Allah berbeda dengan sifat Allah sendiri sejauh menyangkut realitas (haqiqah) tidak terpisah dari esensinya.[6]
2.      Kebebasan Dalam Berkehendak (Free-Will)
            Manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan serta mengaktualisasi perbuatannya. Menurut pendapat yang ekstrim (Jabariyah) menganut faham pradeterminisme dan Mu’tazilah menganut faham kebebasan mutlak berpendapat, bahwa manusia menciptakan perbuatannya.[7] Al-Asy’ari membedakan antara Khaliq dengan Kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (Khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (Muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan  segala sesuatu  termasuk keinginan manusia.
3.      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
            Al-Asy’ari dan orang Mu’tazilah mengakui perntingnya akal dan wahyu tetapi berbeda dalam mengartikannya, kalau Al-Asy’ari lebih mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah lebih mengutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk, di sini akan terlihat perbedaan antara Al-Asy’ari dan Mu’tazilah. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasarkan pada akal.[8]
4.      Qadimnya Al-Qur'an
            Al-Asy’ari mempunyai pandangan dalam persoalan qadimnya al-Qur'an, antara pandangan Mu’tazilah dengan mazhab Hambali dan Zahiriyah yang mengatakan al-Qur'an adalah kalam sedangkan Mu’tazilah mengatakan al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim. Al-Asy’ari berpendapat dari kedua pandangan di atas bahwa al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi semua itu tidak melekat pada esensi Allah karena tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa al-Qur'an bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan, sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat :[9]

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

            “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia” (Q.S. An-Nahl [16] : 40).
5.      Melihat Allah
            Menurut Al-Asy’ari dengan yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, akan tetapi tidak dapat digambarkan, karena kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang dapat menyebabkan bisa dilihat atau Allah menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
6.      Keadilan
            Dalam hal ini ada perbedaan memandang makna keadilan antara Al-Asy’ari dengan Mu’tazilah, tetapi mereka setuju bahwa Allah itu adil. Al-Asy’ari mengartikan keadilan dari versi bahwa Allah adalah pemilik mutlak, sedangkan Mu’tazilah dari versi manusia yang memiliki dirinya sendiri.
7.      Kedudukan Orang Berdosa
            Al-Asy’ari berpandangan,[10] bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kafir. Dengan demikian, Al-Asy’ari mengakui adanya Allah, malaikat-Nya dan para Rasul-Nya serta apapun yang datang dari sisi Allah. Diriwayatkan para perawi terpercaya dari Rasulullah dan kami mengakui bahwa Allah adalah Maha Esa, tempat bergantung segala sesuatu, tiada Tuhan melainkan Dia.

III.  MATURIDIAH

Al-Maturidi ialah Muhammad Ibn Muhammad Abu Mansur, lahir di Maturid Samarkand (Soviet) dan wafat pada tahun 333 H.[11] Karena daerah kelahirannya kota Maturid maka ia lebih dikenal dengan imam al-Maturidi. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi.
Al-Maturidi konsentrasi dalam bidang ilmu teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikirannya dituangkan dalam karya tulis, di antaranya: Kitab Tauhid, Ta’wil al-Qur'an, Makhaz Asy’Syara’i al-Jadl, Ushul fi Ushul ad-Din, Maqalat fi al-Ahkam Radd Awa’il al-Abdillah li al-Ka’bi, Radd al-Ushul al-Khamisah li Abu Muhammad al-Bahili, Radd al-Immah li al-Ba’ad ar-Rawafid dan kitab Radd ‘ala al-Qaramatah.
Adapun pemikiran al-Maturidi antara lain yaitu:
1.      Akal dan Wahyu
            Menurut al-Maturidi untuk mengetahui Tuhan itu dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dapat mengetahui kedua hal sesuai dengan ayat al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia mengggunakan akal dalam memperoleh pengetahuan dan keimanan terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran tentang makhluk hidup. Dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi berpendapat bahwa sesuatu terletak pada itu sendiri dan wahyu dijadikan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi akal menjadi tiga macam, yaitu :
        §          Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu
        §          Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu
        §          Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[12]
2.      Perbuatan Manusia
            Menurut al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dimana perbuatan manusia adalah keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar). Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Jadi, manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetap tidak atas kerelaan-Nya. Faham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
3.      Kekuasaan dan Berkehendak Mutlak Tuhan
            Perbuatan manusia dan segala sesuatu wujud baik dan buruk adalah ciptaan Tuhan. Menurut al-Maturidi, Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta sekehendaknya semata, hal ini dikarenakan qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut) tetapi perbuatan dan kehendak-Nya berlangsung adil sesudah ditetapkan-Nya sendiri.
4.      Sifat Tuhan
            Paham al-Maturidi mengatakan bahwa esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca : inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain ad-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian antropomorphisme karena sifat tidak berwujud terdiri dari dzat sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada berbilang yang qadim (taadud al-qudama). Dari sini faham al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
5.      Melihat Tuhan
            Al-Maturidi berpendapat, bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini dicantumkan dalam al-Qur'an dalam surat al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Dan ia mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun immaterial.
6.      Kalam Tuhan
            Al-Maturidi membedakan antara kalam dengan kalam nafsi, kalau kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadits). Al-Qur'an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadits) sedangkan kalam nafsi tidak dapat diketahui, kecuali dengan suatu perantara.[13] Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan al-Qur'an.
7.      Perbuatan Manusia
            Menurut al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud kecuali semuanya atas kehendak Tuhan dan tidak membatasi kehendak Tuhan kacuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan-Nya. Dan setiap perbuatan Tuhan bersifat menciptakan yang dibebankan pada manusia yang tidak lepas dari hikmah dan keadilan.
8.      Pengutus Rasul
            Pandangan al-Maturidi tentang pengutus Rasul berfungsi sebagai sumber informasi dimana akal memerlukan bimbingan wahyu, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan kepada akalnya.[14]
9.      Pelaku Dosa Besar
            Orang yang berdosa besar menurut al-Maturidi, tidak kafir dan tidak kekal apabila di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Karena Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadi orang kafir atau murtad. Iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar sedangkan amal adalah penyempurna iman.
Dapat disimpulkan bahwa metode Maturidiyah memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas dan al-Maturidi berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’, apabila bertentangan dengan syara’ maka harus tunduk pada keputusan syara’.


[1] Luwis ma’luf al-mujid fi al-lughah tt, (bairut:dar al-kitab al-arabi), 207.
2 Nor Khiolis Majid, Islam Doktrin Dan Peradaban,  (Jakarta: Yayasan Wakaf Para Madua, 1995), 17.
3 Muhammad Bin Abd Al-Karim Asy-Syaharstani, Al-Milal An-Nihal, (Kairo: Dar Al-Fikr, 1951), 48
[2] Yusman Asmani, Dirassah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 79.
[3] Abdul Rozak, op. cit., 86-87.
[4] Asmani, op. cit., 83.
[5] Muhammad Imarah, Tasyyarat Al-Fikr Al-Islami, (Beirut: Dar Asy-Syauruq, 1911), 163.
[6] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), 67-68.
[7] Ibid., 68.
[8] Abdul Rozak, Op.Cit., hal. 122
[9] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI Press, Jakarta, 1972), hal. 69
[10] Ibid. hal. 71
[11] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Logos, Jakarta, 1996), hal. 207
[12] Zahrah, Op.Cit., hal. 179
[13] Zahrah, Op. Cit. hal. 183
[14] Nasution, Op. Cit., hal. 131-132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar