Sabtu, 23 Oktober 2010

HAK GUNA BANGUNAN

PENDAHULUAN

Pemberian hak terhadap kebendaan atas tanah kepada masyarakat indonesia dewasa ini perlu ada kejelasan hukum, sehingga nantinya dapat memberikan keamanan , jaminan terhadap pemilik atau yang punya hak atas tanah.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap tanah pada masa sekarang ini yang begitu banyak, maka pemerintah perlu memberikan kenyamanan dan kemudahan melalui pembuatan undang-undang, aturan-atauran yang mengikat, sehingga rakyat Indonesia khususnya merasa terlayani dan tersalurkan kebuthannya. Oleh karena itu, pemerintah memberikan kemudahan dengan cara membagi-bagi hak atas tanah dengan beberapa kelompok sesuai dengan urgensitas masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini, kami akan menjelaskan diantara hak atas tanah berupa hak guna bangunan dan hak pakai, dimana di dalam nya menyangkut berbagai macam permasalahan yang perlu ada tindak lanjutnya dan transparansi statusnya.

PEMBAHASAN
HAK ATAS TANAH

I. HAK GUNA BANGUNAN
A. Pengertian
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, baik tanah itu merupakan milik orang atau pihak lain maupun berupa tanah yang lansung dikuasai oleh negara. Di samping pemegang hak guna bangunan atas suatu tanah berwenang pula untuk memindah tangankan hak tersebut, menjadikannya sebagai jaminan utang dan mengalihkannya kepada ahli warisnya, sepanjang belum habis jangka waktunya. dengan jangka waktu yang telah ditentukan, sebagaimana yang tercantum dalam UUPA pasal 35.
Sebenarnya penggunaan hak guna bangunan untuk membangun bangunan saja, tidak lainnya. Namun hal itu tidak berarti bahwa diatas tanah tersebut yang mempunyai hak tidak diperbolehkan menanam sesuatu, memelihara ternak, atau mempunyai kolam ikan, asalkan tujuan penggunaan tanahnya yang pokok adalah untuk bangunan. Dimana diadakannya hak guna bangunan adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan masyarakat modern dewaa ini. Hak guna bangunan bukan hak yang berasal dari hukum adat.
Sedangkan asal tanah hak guna bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai lansung oleh negara, tanah milik orang lain. Ketentuan ini sebagaimana tercantum dalam UUPA pasal 37. Sedangkan pada pasal 21 PP no. 40 tahun 1996, menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah tanah negara, tanah hak pengelolaan, atau tanah hak milik.
Sedangkan ciri-ciri dari hak guna bangunan diantaranya:
1. Hak guna bangunan tergolong hak yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan fihak lain. Oleh karena itu, hak guna bangunan termasuk salah satu hak yang wajib didaftar (pasal 38 UUPA dan PP no. 10 1961).
2. Hak bangunan dapat beralih, artinya dapat diwaris oleh ahli waris yang mempunyai hak (pasal 35 ayat 3).
3. Hak guna bangunan jangka waktunya terbatas
4. Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan; hipotik.
5. Hak guna bangunan dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan, atau diberikan dengan cara wasiat.
6. Hak guna bangunan dapat juga dilepaskan oleh orang yang mempunyai hingga tanahnya menjadi tanah negara.
7. Hak guna bangunan hanya dapat diberikan untuk keperluan pembangunan bangunan-bangunan.

B. Subyek Hak Guna Bangunan
Adapun yang dapat memperoleh hak guna bangunan menurut UUPA, pasal 36 dan pasal 19 no.14 tahun 1996 adalah:
1. Warga negara Indonesia
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Oleh karena itu, hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak guna bangunan ini, dan di sini terlihat, bahwa prinsip nasional tetap dipertahankan. Sehingga orang atau badan hukum yang tidak memenuhi syarat di atas, maka dalam jangka waktu 1 tahun melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika atauran tersebut tidak diindahkan, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

C. Terjadinya Hak Guna Bangunan
Terjadinya hak guna bangunan berdasarkan asal tanahnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Hak guna bangunan atas tanah negara
Hak guna bangunan ini terjadi dengan putusan pemberian hak yang ditertibkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) berdasarkan pasal 4, 9, dan 14 Permen Agraria/Kepala BPN no. 3 tahun 1999, dan prosedur terjadinya hak guna bangunan ini diatur dalam pasal 32-43 Permen Agraria/Kepala BPN no. 9 tahun 1999.
2. Hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan
Hak guna bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak atas pemegang hak pengelolaan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional. berdasarkan pasal 4 Permen Agraria/Kepala BPN no. 3 tahun 1999 dan prosedur terjadinya hak guna bangunan ini diatur dalam pasal 32-43 Permen Agraria/Kepala BPN no. 9 tahun 1999.
3. Hak guna bangunan atas tanah hak milik
Hak guna bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta PPAT ini dimuat dalam lampiran Permen Agraria/Kepala BPN no. 9 tahun 1999.

D. Jangka Waktu Dan Luas Hak Guna Bangunan
Jangka waktu hak guna bangunan berbeda sesuai dengan asal tanahnya. (Pasal 26 –29 PP no. 40 tahun 1996)
1. Hak guna bangunan atas tanah negara
Hak guna bangunan ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui paling lama 30 tahun.
Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak guna bangunan diajukan selambat-lambatnya 2 tahun, sebelum berakhirnya jangka waktu. HGB tersebut. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan HGB dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Syarat-syarat pemegang hak guna bangunan untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan HGB adalah:
a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut.
b. Syarat-syarat pemberian tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak
d. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tanah Ruang Wilayah RTRW yang bersangkutan.
2. Hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan
Hak guna bagunan ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui paling lama 30 tahun.
Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak guna bangunan diajuakan selambat-lambatnya 2 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak guna bangunan tersebut atau perpanjangannya.
3. Hak guna bangunan atas tanah hak milik
Hak guna bangunan ini berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan jangka waktu. Namun, atas kesepakatan anatara pemilik tanah dengan pemegang hak guna bangunan dapat diperbaharui dengan pemberian hak guna bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT, dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.

E. Pertanggung Jawaban Pemegang
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang hak guna bangunan perdasarkan pasal 30 dan 31 PP no. 40 tahun 1996, pemegang hak guna bangunan berkewajiban:
1. Membayar uang pemasukan yang jumlahnya dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberian nya.
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada negara, pemegang hak pengelola atau pemegang hak milik, sesudah hak guna bangunan dihapus.
5. Menyerahkan sertifikat HGB yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
6. Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah hak guna bangunan tersebut.

F. Hapusnya Hak Guna Bangunan
Berdasarkan pasal 40 UUPA, hak guna bangunan hapus karena,
1. Jangka waktunya berakhir
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu atau syarat yang tidak terpenuhi.
3. Dilepaskan dengan suka rela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4. Dicabut untuk kepentingan umum
5. Diterlantarkan
6. Tanahnya musnah
7. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, karena tidak memenuhi syarat-syarat pemegang hak guna bangunan. 

G. Akibat Hapusnya Hak Guna Bangunan
Hapusnya hak guna bangunan atas tanah negara mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. Hapusnya hak guna bangunan atas tanah pengelolaan, mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan hak pengelolaan. Sedangkan hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak milik, mengakibatkan tanah kembali ke dalam penguasaan pemilik tanah (pasal 36 no. 40 tahun 1996).

II. HAK GUNA PAKAI
A. Pegertian
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberikan wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, dan segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA (pasal 41 ayat 1 UUPA).
Kata “menggunakan” dalam hak pakai menunjukkan pada pengertian bahwa, hak pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan. Sedangakan kata”memungut hasil”, menunjukkan pengertian bahwa, hak pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan , misalnya pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.
Hak pakai atas tanah ini hanya dapat diberikan,
1. Selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya masih dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2. Dengan cuma-cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
Adapun ciri-ciri dari hak pakai ialah:
1. Dengan didaftarkan hak pakai yang diberikan oleh pemerintah, maka hak tersebut menjadi mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain.
2. Hak pakai dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan
3. Hak pakai dapat dialihkan kepada pihak lain, tetapi jika mengenai tanah negara perlu ada izin pejabat yang berwenang. Jika mengenai tanah hak milik, hak pakai itu hanya dapat dialihkan, kalau hal tersebut dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Ini berarti bahwa pemberian hak pakai dapat disertai syarat bahwa hak tersebut tidak boleh dialihkan kepada pihak lain
4. Hak pakai dapat dilepaskan oleh yang mempunyai.
Peralihan hak pakai dapat terjadi karena jual-beli beserta ketentuan di dalamnya, tukar menukar, hibah, dll. Dalam hal peralihan ini, harus ada persetujuan dan izin dari orang atau pejabat yang berwenang

B. Subyek Hak Pakai
Yang mempunyai hak pakai atas tanah ini yang ditentukan dalam pasal 42 UUPA dan PP no. 40 tahun 1996, adalah:
1. Warga Negara Indonesia
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia (PP no. 41 tahun 1996)
3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
5. Departemen, lembaga pemerintahan non-Departemen, dan Pemerintah Daerah
6. Badan-badan keagamaan dan sosial
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.

C. Jangka Waktu Dan Luas Tanah Hak Pakai
Jangka waktu hak pakai ini berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnya.
1. Hak pakai atas tanah negara
Hak pakai ini berjangka waktu pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui paling lama 25 tahun.
Hak pakai yang dipunyai Departemen, lembaga pemerintahan non-Departemen, dan Pemerintah Daerah, Badan-badan keagamaan dan sosial, Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional, diberikan jangka waktu yang tidak ditentukan, selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Hak pakai yang diberikan untuk instansi-instansi pemerintah, seperti sekolah, perguruan tinggi negeri, kantor pemerintah, dan lainnya, hak pakai yang diberikan perwakilan asing, dan hak pakai untuk usaha-usaha sosial dan keagamaan, tidak bisa dijual atau dijadikan jaminan utang. Hal ini berlandaskan A.P. Perlindungan yang menyatakan bahwa hak pakai yang bersifat publikrechtelijk, yang tanpa right of dispossal (tidak bisa dijual atau dijadikan jaminan utang).
Dalam Peraturan Menteri Agraria no. 15 tahun 1959, menetapkan batas luas maksimal hak pakai adalah 10 hektar, kecuali ada izin menteri (pasal 14)
2. Hak pakai atas tanah pengelolaan
Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui paling lama 25 tahun.
Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak pakai ini dapat dilakukan atas usul pemegang hak pengelolaan
3. Hak pakai atas tanah hak milik
Hak pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, dan tidak dapat diperpanjang. Namun, atas kesepakatan anatara pemilik tanah dengan pemegang hak pakai dapat diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib ddaftarkan kepada kantor pertnahan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah.urip santoso

D. Tanggung Jawab Dan Hak Pemegang Hak Pakai
Berdasarkan pasal 50-51 PP. No. 40 tahun 1996 pemegang hak pakai berkewajiban:
1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarbannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya dan perjanjian penggunaan tanah.
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah.
3. memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup
4. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak pakai setelah hak pakai tersebut dihapus.
5. Menyerahkan sertifikat hak pakai yang telah hapus kepada kantor tanah kabupaten/kota setempat
6. Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah hak pakai.
Pemegang tanah hak pakai berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya, memindahkan hak pakai kepada pihak lain, membebaninya dengan tanggungan, dan menguasai dan mempergunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.

E. Hapusnya Hak Pakai
Berdasarkan pasal 55 PP no. 40 tahun 1996, faktor-faktor penyebab hapusnya hak pakai, yaitu:
1. berakhirnya jangka waktu sebagiamana ditetpakan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya;
2. dibatalakan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan, atau pemilik tanah sebelum jangka waktunya berakhir, karena:
a. tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak pakai atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak pakai
b. tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak pakai dan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan, atau
c. putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
3. dilepaskan sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4. hak pakainya dicabut
5. ditelantarkan
6. tanahnya musnah
7. pemegang hak pakai tidak memnuhi syarat sebagai pemegang hak pakai

F. Akibat Hapusnya Hak Pakai
Hapusnya hak pakai atas tanah, mengakibatkan tanahnya kembali kepada penguasaan semula (negara, hak pengelolaan, dan hak milik).(pasal 56 PP. No. 40 tahun 1996).
Dalam ketetntuan lain disebutkan, bahwa apabila hak pakai atas tanah negara hapus dan tidak diperpanjang dan diperbaharui, maka bekas pemegang hak pakai wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu 1 tahun sejak hapusnya hak pakai. Dan dalam hal bangunan dan benda-benda yang sudah dirusak, pemegang mendapat ganti rugi, dan biaya pembongkaran dibebankan kepada bekas pemegang hak pakai. Apabila bekas pemegang hak pakai lalai dalam memenuhi kewajiban membongkar bangunan dan benda-benda yang ada diatas tanah hak pakai, maka bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang hak pakai.
Sedangkan apabila hak pakai atas tanah hak pengelolaan atau hak milik hapus, maka bekas pemegang hak pakai tersebut wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang hak tanah tersebut dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau perjanjian pemberian hak pakai atas tanah atas tanah hak milik (pasal 58 PP no. 40 tahun 1996).urip santoso

DAFTAR PUSTAKA

1. Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Hukum Agraria, ().
2. Efendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1994
3. Urip Santoso, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media, 2006 ),
4. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999).
5. Sudaryo Soimin, Status Hak Dan Pembebasan Tanah,

Jumat, 22 Oktober 2010

ILMU KALAM

MU’TAZILAH

A. Asal-Usul Mu’tazilah
Secara harfiah Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, atau menjauhkan diri.[1] Golongan ini muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi baru menghebohkan pemikiran keislaman pada masa pemerintahan Bani Abbas dalam masa yang cukup panjang. Seorang ulama terkenal bernama Imam Hasan al-Basri (w.110 H) menyelenggarakan majelis pengajaran di masjid kota Basrah.
Istilah mu’tazilah memunculkan dua golongan:
       1.         Menurut sebagian respon politik murni, kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti ada pada kaum mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.2
       2.         Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan murji’ah akibat adanya peistiwa tahkim. Beberapa versi tentag pemberian nama mu’tazilah kepada kedua golongan ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Atha’ serta temannya Amr bin Ubaid, dan Hasan al-Basri di Basrah.3
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal usul kemunculan mu’tazilah tanpa menyangkut pautkannya dengan peristiwa antara washil bin atha’ dan Hasan al-Basri karena menjelaskan bahwa sorang Islam yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian orang itu melakukan dosa besar lalu orang tersebut meninggal sebelum bertaubat. Menurut Imam Hasan al-Basri, orang itu tetap muslim, hanya saja muslim yang durhaka, di akhirat kelak dimasukkan ke dalam neraka untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya sampai batas tertentu sesudah menjalani hukuman, dia dikeluarkan dari neraka, kemudian dimasukkan ke dalam surga. Washil bin Atho’ salah satu muridnya menyatakan berbeda pendapat/pendirian dengan gurunya, lalu ia keluar dari majelis gurunya.
Washil bin Atho’ mendirikan majelis sendiri di suatu sudut masjid Basrah dan diberi nama kaum Mu’tazilah, karena ia memisahkan/mengasingkan diri dari majelis gurunya, serta diikuti teman-temannya, Amr bin Ubaid dan Hasan al-Basri. Sebagian orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka berdiri dari orang-orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya dan menolak hidup bersenang-senang. Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang yang menyandang predikat adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia.
Di antara Mu’tazilah Yahudi dan Mu’tazilah Islam terdapat persamaan besar, yaitu yang pertama menafsirkan Taurat sesuai dengan logika filsafat, sedangkan keduanya mena’wilkan semua sifat-sifat Tuhan yang disebutkan dalam al-Qur'an.
B. Lima Ajaran Mu’tazilah
Dalam ajaran Mu’tazilah ada lima dasar teologi (al-Ushl al-Khamsah), yaitu:
       1.         At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, tauhid memmiliki arti spesifik, tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dpat mengurangi arti kemah esaannya. Oleh karena itulah dialah yang qadim. Bial ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama’ (berbilangnya dzat yang tak bermulaan).[2]
       2.         Al-Adlu yang berarti tuhan maha adil.
Ajaran ini bertujuan untuk menempatkan tuhan benar-benar adal menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini diciptakan untuk kepentingan manusia. begitu pula tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.
Ajaran keadilan ini berkaian erat dengan beberapa hal antara lain yaitu:
a.       Perbuatan manusia menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekauasaan tuhan baik secara langsung atau tidak
b.      Perbuatan baik dan terbaik adalah kewajiban tuhan berbuata bai k bahklan ternbaik bagi manusia
c.       Mengutus Rasul adalah mengutus rasul pada manusia itu adalah  kewajiban tuhan.
       3.         Al-Wa’du wa al-Wa’id (janji dan ancaman)
Ajaran ketiga ini sangat erat hubunganya dengan ajran kedua diatas. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menunaikan janjinya, yaitu menmberi pahala orang yang taat dan memberi siksa pada orang yang jahat, kecuali bila ia tobat nasuha.
       4.         Al-Manzila Bain al-Mazilatain (tempat di antara dua tempat)
Inilah ajaran-ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah. Pkok-pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar danh  belumm taubat bukan lagi muimin atau kafir, tetapi fasik. Kedudukan orang bukan mukmin tapi bukan pula kafir secara mutlak karena ia mengucapkan syahadat, akan tetapi orang tersebut disebut fasiq karena menmpati antara mukmin dan kafir. Dari sini Mu’tazilah menyimpulkan bahwa maksiat itu ada dua macam, yaitu merusak dasa agama seperti syirik dan orang yang berbuat maksiat seperti golongan kafir.
       5.         Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan soal amaliah atau fikih. Dalam sejarah Mu’tazilah yang mempertahankan Islam, memberantas kesesatan yang tersebar luas pada permulaan Khalifah Bani Abbasiyyah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam berma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh tokoh Abdul al-Jabbar, yaitu:[3]
i.         Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
ii.       Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
iii.      Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
iv.     Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakan tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
Kemunduran Mu’tazilah disebabkan oleh penganut sendiri dan kelihatan nyata pada zaman Khalifah al-Mutawakkil, banyak kitab-kitab yang berisi ajaran Mu’tazilah dibakar, namun masih terdapat pribadi-pribadi setia menyebarkan paham Mu’tazilah. Pada abad ke-3 Hijriah muncullah al-Hayyat yang dianggap sumber asli untuk mengetahui ajaran Mu’tazilah.[4]


II.     ASY’ARIAH

Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari.[5] Menurut beberapa riwayat al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M.
Al-Asy’ari pengikut faham Mu’tazilah dan Ia belajar Ilmu Kalam pada Abu Ali al-Juba’i. Karena kemahirannya, ia selalu mewakili gurunya dalam berdiskusi. Pada perkembangan selanjutnya al-Asy’ari menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah dan condong kepada pikiran fuqoha dan ahli hadits. Ketika umur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari Jum’at ia naik mimbar di masjid Bashrah secara resmi menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah.
Sebab al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah adalah adanya perpecahan yang yang terjadi pada kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri. Kalau seandainya tidak segera diakhiri, ia khawatir kalau al-Qur'an dan Hadits menjadi korban dari faham-faham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat. Ada ahli hadits antropomorfis yang terlalu memegangi makna lahir dari hadits yang nyaris menyeret Islam pada kelemahan, kebekuan yang tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu al-Asy’ari jalan tengah antara golongan rasionalis (Mu’tazilah) dan golongan tekstualis (ahli hadits antropomorfis) dan dengan langkah jalan tengah mayoritas umat Islam bisa menerimanya.
Pada pemikiran al-Asy’ari secara esensial, menampakkan sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim, diantara pemikiran al-Asy’ari yang terpenting, yaitu:
1.      Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim, salah satunya dengan kelompok Majassimah (antropomorfis) dengan kelompok Musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebut dalam al-Qur'an dan Sunnah, karena sifat itu harus difahami secara harfiah. Al-Asy’ari berpandangan, bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu seperti kita mempunyai tangan dan kaki, hal ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Dan sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibedakan dengan sifat-sifat manusia meski itu agak sama, karena sifat Allah berbeda dengan sifat Allah sendiri sejauh menyangkut realitas (haqiqah) tidak terpisah dari esensinya.[6]
2.      Kebebasan Dalam Berkehendak (Free-Will)
            Manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan serta mengaktualisasi perbuatannya. Menurut pendapat yang ekstrim (Jabariyah) menganut faham pradeterminisme dan Mu’tazilah menganut faham kebebasan mutlak berpendapat, bahwa manusia menciptakan perbuatannya.[7] Al-Asy’ari membedakan antara Khaliq dengan Kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (Khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (Muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan  segala sesuatu  termasuk keinginan manusia.
3.      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
            Al-Asy’ari dan orang Mu’tazilah mengakui perntingnya akal dan wahyu tetapi berbeda dalam mengartikannya, kalau Al-Asy’ari lebih mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah lebih mengutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk, di sini akan terlihat perbedaan antara Al-Asy’ari dan Mu’tazilah. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasarkan pada akal.[8]
4.      Qadimnya Al-Qur'an
            Al-Asy’ari mempunyai pandangan dalam persoalan qadimnya al-Qur'an, antara pandangan Mu’tazilah dengan mazhab Hambali dan Zahiriyah yang mengatakan al-Qur'an adalah kalam sedangkan Mu’tazilah mengatakan al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim. Al-Asy’ari berpendapat dari kedua pandangan di atas bahwa al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi semua itu tidak melekat pada esensi Allah karena tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa al-Qur'an bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan, sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat :[9]

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

            “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia” (Q.S. An-Nahl [16] : 40).
5.      Melihat Allah
            Menurut Al-Asy’ari dengan yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, akan tetapi tidak dapat digambarkan, karena kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang dapat menyebabkan bisa dilihat atau Allah menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
6.      Keadilan
            Dalam hal ini ada perbedaan memandang makna keadilan antara Al-Asy’ari dengan Mu’tazilah, tetapi mereka setuju bahwa Allah itu adil. Al-Asy’ari mengartikan keadilan dari versi bahwa Allah adalah pemilik mutlak, sedangkan Mu’tazilah dari versi manusia yang memiliki dirinya sendiri.
7.      Kedudukan Orang Berdosa
            Al-Asy’ari berpandangan,[10] bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kafir. Dengan demikian, Al-Asy’ari mengakui adanya Allah, malaikat-Nya dan para Rasul-Nya serta apapun yang datang dari sisi Allah. Diriwayatkan para perawi terpercaya dari Rasulullah dan kami mengakui bahwa Allah adalah Maha Esa, tempat bergantung segala sesuatu, tiada Tuhan melainkan Dia.

III.  MATURIDIAH

Al-Maturidi ialah Muhammad Ibn Muhammad Abu Mansur, lahir di Maturid Samarkand (Soviet) dan wafat pada tahun 333 H.[11] Karena daerah kelahirannya kota Maturid maka ia lebih dikenal dengan imam al-Maturidi. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi.
Al-Maturidi konsentrasi dalam bidang ilmu teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikirannya dituangkan dalam karya tulis, di antaranya: Kitab Tauhid, Ta’wil al-Qur'an, Makhaz Asy’Syara’i al-Jadl, Ushul fi Ushul ad-Din, Maqalat fi al-Ahkam Radd Awa’il al-Abdillah li al-Ka’bi, Radd al-Ushul al-Khamisah li Abu Muhammad al-Bahili, Radd al-Immah li al-Ba’ad ar-Rawafid dan kitab Radd ‘ala al-Qaramatah.
Adapun pemikiran al-Maturidi antara lain yaitu:
1.      Akal dan Wahyu
            Menurut al-Maturidi untuk mengetahui Tuhan itu dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dapat mengetahui kedua hal sesuai dengan ayat al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia mengggunakan akal dalam memperoleh pengetahuan dan keimanan terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran tentang makhluk hidup. Dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi berpendapat bahwa sesuatu terletak pada itu sendiri dan wahyu dijadikan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi akal menjadi tiga macam, yaitu :
        §          Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu
        §          Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu
        §          Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[12]
2.      Perbuatan Manusia
            Menurut al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dimana perbuatan manusia adalah keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar). Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Jadi, manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetap tidak atas kerelaan-Nya. Faham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
3.      Kekuasaan dan Berkehendak Mutlak Tuhan
            Perbuatan manusia dan segala sesuatu wujud baik dan buruk adalah ciptaan Tuhan. Menurut al-Maturidi, Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta sekehendaknya semata, hal ini dikarenakan qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut) tetapi perbuatan dan kehendak-Nya berlangsung adil sesudah ditetapkan-Nya sendiri.
4.      Sifat Tuhan
            Paham al-Maturidi mengatakan bahwa esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca : inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain ad-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian antropomorphisme karena sifat tidak berwujud terdiri dari dzat sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada berbilang yang qadim (taadud al-qudama). Dari sini faham al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
5.      Melihat Tuhan
            Al-Maturidi berpendapat, bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini dicantumkan dalam al-Qur'an dalam surat al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Dan ia mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun immaterial.
6.      Kalam Tuhan
            Al-Maturidi membedakan antara kalam dengan kalam nafsi, kalau kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadits). Al-Qur'an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadits) sedangkan kalam nafsi tidak dapat diketahui, kecuali dengan suatu perantara.[13] Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan al-Qur'an.
7.      Perbuatan Manusia
            Menurut al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud kecuali semuanya atas kehendak Tuhan dan tidak membatasi kehendak Tuhan kacuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan-Nya. Dan setiap perbuatan Tuhan bersifat menciptakan yang dibebankan pada manusia yang tidak lepas dari hikmah dan keadilan.
8.      Pengutus Rasul
            Pandangan al-Maturidi tentang pengutus Rasul berfungsi sebagai sumber informasi dimana akal memerlukan bimbingan wahyu, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan kepada akalnya.[14]
9.      Pelaku Dosa Besar
            Orang yang berdosa besar menurut al-Maturidi, tidak kafir dan tidak kekal apabila di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Karena Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadi orang kafir atau murtad. Iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar sedangkan amal adalah penyempurna iman.
Dapat disimpulkan bahwa metode Maturidiyah memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas dan al-Maturidi berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’, apabila bertentangan dengan syara’ maka harus tunduk pada keputusan syara’.


[1] Luwis ma’luf al-mujid fi al-lughah tt, (bairut:dar al-kitab al-arabi), 207.
2 Nor Khiolis Majid, Islam Doktrin Dan Peradaban,  (Jakarta: Yayasan Wakaf Para Madua, 1995), 17.
3 Muhammad Bin Abd Al-Karim Asy-Syaharstani, Al-Milal An-Nihal, (Kairo: Dar Al-Fikr, 1951), 48
[2] Yusman Asmani, Dirassah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 79.
[3] Abdul Rozak, op. cit., 86-87.
[4] Asmani, op. cit., 83.
[5] Muhammad Imarah, Tasyyarat Al-Fikr Al-Islami, (Beirut: Dar Asy-Syauruq, 1911), 163.
[6] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), 67-68.
[7] Ibid., 68.
[8] Abdul Rozak, Op.Cit., hal. 122
[9] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI Press, Jakarta, 1972), hal. 69
[10] Ibid. hal. 71
[11] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Logos, Jakarta, 1996), hal. 207
[12] Zahrah, Op.Cit., hal. 179
[13] Zahrah, Op. Cit. hal. 183
[14] Nasution, Op. Cit., hal. 131-132

ASAS UMUM PERADILAN AGAMA



ASAS UMUM PERADILAN AGAMA
A.           ASAS PERSONALITA KEISLAMAN
Peradilan Agama merupakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu diantaranya perkawinan, kewarisan, wakaf, hibah, shodaqoh dan dan dalam perkembanganya di tambah dengan ekonomi syari’ah.
Untuk itu diantara asas didalam Peradilan Agama yakni Asas personalita keislaman  dimana yang dapat tunduk dalam kekuasaan lingkungan Peradilan Agama yani hanya mereka yang mengakui pemeluk Agama Islam. Penganut Selain agama Islam atau non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk kepada lingkungan Pengadilan Agama.
B.           ASAS KEBEBASAN
Asas kebebasan merupakan asas yang paling sentral dalam kehidupan peradilan karena kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna penegakan hokum. Dalam hal ini agar hokum dapat ditegakan berdasarkan pancasila, akan tetapi kebebasan kehakiman bukanlah kebebasan yang membabi buta akan  tetapi terbatas dan relative.diantaranya:
    • Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lain,
    • Bebas dari paksaan
    • Kebebasan melaksanakan wewenang judical (peradilan)
C.           ASAS WAJI MENDAMAIKAN
Asas mendamaikan dalam Peradilan Agama sejalan dengan konsep Islam yang dinamakan Ishlah. Untuk itu layak sekali para hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban fungsi “mendamaikan” karena bagaimanapun seaduil-adilnya putusan jauh lebih baik dan lebih adil jika perkara diselesaikan dengan perdamaian, karena karakter didalam persidangan dalam Peradilan pasti ada menang dan kalah seadil adilnya putusnya hakim akan di rasa tidak adil oleh pihak yang kalah, dan sebaliknya seadil adilnya putusan akan dirasa adil oleh yang menang. Untuk itu hasil dari perdamaian yang dihasilkan dari kesadaran kedua belah pihak merka akan sama-sama merasa menang dan mermasa kalah. Akan tetapi dalam masalah perceraian perdamaian wajib bagi hakim dimana yang sifatnya “imperative”
D.           ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN
Sebuah Peradilan apalagi Peradilan Agama yang menjadi harapan masyarakat muslim untuk mencari keadilan, dengan adanya Asas Sederhana , cepat dan biaya ringan akan selalu dikehendaki  oleh masyarakat. Penyelesain perkara dalam peradilan yang cepat, tepat, adil, dan biaya ringan tidak berbelit belit yang menyebabkan proses sampai bertahun-tahun. Biaya ringan artinya biaya yang sederhana mungikin sehingga dapat terpikul oleh rakyat.
E.            ASAS TERBUKA UNTUK UMUM
Pelaksanaan siding terbuka untuk umum berarti setiap pemeriksaan berlangsung disidang pengadilan, siapa saja yang ingin berkunjung, menghadiri, menyaksikan, dan mendengarkan jalanya persidangana tidak boleh dihalangi dan dilarang, maka untuk memenuhi syarat formal atas asas ini, sebelum hakim melakukan pemeriksaan lebih dahulu menyatakan dan mengumumkan ”persidangan terbuka untuk umu”. Tujuan yang terkandunga dalam asas ini adalah agar tidak sampai terjadi pemeriksaan gelap/bisik-bisik karena persidangan tertutup cenderung melakukan pemeriksaan ssecara sewenang-wenang, selain itu adanya edukasi yakni dapat menjadi informasi kepada masyarakat agar tidsak terperosok kearah yang tidak tepat. Kecuali dalam masalah Perceraian yang bersifat tertutup karena pertimbanganya yakni kepentingan kerahasiaan iaib rimah tangga dan pribadi suami istri jauh lebih besar nilai “ekuivalensinya” disbanding terbuka untuk umum, karena barangkali mereka berpendapat bertentantangan dengan moral dan kepatutan untuk meyebar luaskan rahasia aib dan kebobrokan suami istri mmelalui siding peradilan, satu-satunya cara untuk menutup kebocoran melalui siding tertutup.
F.            ASAS LEGALITAS DAN PERSAMAN
Pengertian makna legalistis pada prinsipnya sama dengan rule of law yakni pengdilan mengadili menurut ketentuan-ketentuan hukum. Karena hakim berfungsi dan berwenang mengerkan roda jalanya peradilan melalui badan pengadilan, semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan, mesti menurut hokum. Hakim dilarang menjatuhkan putusan dengan sesuka atau dengan selera hakim itu sendiri yang bertentangan dengan hukum. Sedangkan makna Persamaan hak adalah seseorang yand dating yang berhadapan dalam persidangan sama hak dan kedudukanya tidak memandang jabatan, saudara, maupun kawan sumuanya sama dihadapan pengadilan.
G.           ASAS AKTIF MEMBERI BANTUAN
Dalam asas ini hakim hendaknya dapat memberi bantuan secara akif dilihat dari tujuan dari memberi bantuan diarahkan untuk mewujudkan  peraktek peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Ada berberapa masalah formal yang tercakup kedalam objek fingfsi memberi bantuan dan nasihat yaitu:
    • Mebuat gugatan bagi yang buta huruf
    • Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”
    • Menyarankan penyempurnaan surat kuasa
    • Menganjurkan perbaikan surat gugatan
    • Memberi penjelasan alat bukti yang sah
    • Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban
    • Bantuan memanggil saksi secara resmi
    • Memberi bantuan upaya hukum
    • Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi
    • Mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian.




KEDUDUKAN PENGADILAN AGAMA
Pengadilan Agama sebagai slah satu pelaksana kekuasaan kehakiman merupakan peradilan yang berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, Peradilan Agama sebagaimana halnya Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara tertinggi dan yang melakukan pengawasan atas perbuatan Peradilan Agama dibidang teknis hanyalah Mahkamah Agung. Peradilan Agama sejajar dan sederajat dengan lingkungan peradilan lainya, tidak saling tergantung dan saling mengawasi satu sama lain. Sehingga Peradilan Agama dapat dapat melaksanakan senndiri keputusanya secara penuh.
KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA
Kompetensi dari pada pengadilan Agama yaitu hanyalah meliputi bidang perdata tertentu saja seperti yang tercantum dalam dalam pasal 49 UU No 7 tahun 1989, dimana jangkauan batas kewenangan dari Peradilan Agama yakni hanyalah memeriksa, mengadili, memutuskan, dan mengadili perkara-perkara perkawinan, warisan, wakaf, hibah dan shodaqoh dan dalam perkembanganya ditambah dengan ekonomi syari’ah berdasarkan personalita keislaman. Sehingga diluar bidang-bidang yang telah disebutkan diatas Peradilan Agama tidak berwenang memeriksan dan memutuskan perkaranya.
Sifat kewenangan masing-masing Peradilan bersifat absolute apa yang telah ditentukan menjadi kekuasaan yuridisk suatu lingkungan peradilan dan menjadi kewenangan mutlak baginya untuk memeriksa dan memutuskan perkara, dan sebaliknya yang bukan kewenanganya secara absolute bukan menjadi kewenanganya. Tujuan dan rasio penentuan dan batas kewenangan atau kompetensi setiap lingkungan peradilan, agar terbina suatu pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang tertib antar masing-masing berjalan pada rel yang telah ditentukan untuk mereka lalui, selain itu membina kekuasaan kehakiman yang tertib agar memberi ketentraman dan kepastian bagi masyarakat pencari keadilan